Hasani Utsman, Penulis Yang Getol Terhadap Humor dan Tengka Orang Madura

SAMPANG – Berangkat dari ketertarikan membuat ada sesuatu yang sepertinya mustahil ada. Hasani Utsman, penulis asal Kampung Sumber batu, Desa Blumbungan, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, itu menulis buku Tengka (etika sosial dalam masyarakat tradisional Maduar). Buku tersebut lahir setelah orang tuanya perpesan agar menjaga Tengka.

”Sedangkan setelah ditanya, Tengka itu bukunya di mana dan seperti apa? Ternyata Tengka itu tidak ada bukunya,” jelasnya, Sabtu 09/09/2023.

Menulis bagi alumnus Al Azhar, Mesir 2014 adalah faktor keinginan. Artinya, ketika ada ide harus disampaikan kepada masyarakat luas. Selain itu, dia juga memikirkan orang lain. Misalanya, di dalam buku Tengka yang terbit tahun 2020, dia punya tujuan ingin mengkodefikasi tata perilaku orang madura. Sebab, jika tidak dikodefikasi, rentang waktu setahun dua tahun, tatakrama itu akan hilang. ”Baik tatakrama pada diri sendiri, orang lain dan alam semesta,” ulasnya.

Pria yang menempuh S2 UIN Sunan Kalijaga (Suka) Jogjakarta, itu menulis buku Tengka merasa terlambat. Sebab, orang yang benar-benar merawat tengka (orang tua), sudah meninggal. Dan seandainya buku tersebut ditulis pada tahun 1960 an, itu lebih baik lagi. ”Karena akan pas dengan kondisi alamnya,” terangnya.

Selain menulis, keseharian Hasani Utsman mengajar kitab kuning di rumahnya. Sebab, berada di dalam lingkungan pemuka agama, dia ingin memberikan sumbangsih dalam ilmu agama. Namun, penulis yang punya predikat pendiam itu ternyata mempunyai banyak karya. Seperti tulisan biorgrafi dan cerita pendek. ”Tapi itu tidak usah dimasukkan berita, ya,” pintanya.

Kini, pria kelahiran 1987 Pamekasan itu sedang menyelesaikan naskah filsafat humor Madura. Ketertarikannya pada humor Madura itu karena humor Madura sangat kuat dan logis. Selain itu, humor Madura berada di tengah masyarakat dan di dalam toko-toko buku. Tapi, kata dia, pertanyaan yang timbul, bagaimana cara memverifikasi itu humor madura atau bukan?

Selain itu, ucap Hasani Utsman, bagaimana pula cara memproduksi humor Madura. Untuk mengetahui itu, perlu dipikirkan filsafatnya. Bahkan, jika pemahaman tersebut sampai kepada pemahaman antropologis, tradisi humor orang madura naik turun. Naik ketika situasi alam Madura benar-benar sulit dan turun ketika kondisi alamnya mudah. ”Sepertinya, humor madura digunakan untuk menghibur diri sendiri,” ungkapnya.

Bahkan dia membuat suatu teori, misalnya ketika masyarakat kesusahan air, itu lucu. Namun bagi yang tidak kekurangan air, sepertinya tidak lucu. Jadi, seperti yang diceritakan novel ‘Melawan Kiai’ yang ditulis tahun 2022, dia menulis karena merasa masih belum ada novel yang mewakili kegelisahan. Terutama hubungan masyarkat biasa dan kiai.

Bagi Hasani Utsman, yang paling kuat dalam tradisi humor madura itu logika. Contohnya, ketika nelayan Bangkalan bentrok dengan nelayan Pasuruan karena melewati batas teritorial daerah. Ternyata nelayan asal Bangkalan itu berkata, “saya tidak memasuki daerah orang, saya hanya mengejar ikan dari Madura yang lari ke sini (Pasuruan), ”logikanya itu efisien,” paparnya.

”Kalau di tradisi pesantren itu ada fiqih, itu produk hukum. Sedangkan alat produk itu disebut usul fiqif. Jadi, bagaimana cara membuat produk fiqih. Dan anggap saja homur yang beredar itu fiqih, nah bagaimana usul fiqihnya. Jadi, di dalam buku saya itu ada usul fiqih humor madura. Misalnya prinsip, prosedur dan cara produksi humor,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *